Selasa, 29 Maret 2011

bisnis cerdascantiksukses

Hayyooo mbak mbak,,kakak kakak,,ibu ibu,,adek adek,,gabung hyuuukk di dbc-network,,kalo tiap hari kita bisa internetan, knapa nggak kita manfaatin juga buat berbisnis secara online. Bisnis yang menghasilkan, menambah pertemanan, kebutuhan sehari-hari tetap terpenuhi seperti biasa, trussss makin hari makin tambah cantik :)hmm..siapa yang nggak mau yaaa ?!

Semuanya bisa ikut..yang kerja kantoran, yang ibu rumah tangga, yang masih kuliah, yang wiraswasta,,smuaaaa punya kesempatan yg sama buat ikutan.

Jadi wanita cantik dan sukses adalah pilihan cerdas,,jadi tunggu apa lagi ? gabung yuukk di cerdascantiksukses dbc-network :)sama aku dan banyak wanita-wanita cerdas cantik dan sukses lainnya...

Kalo produk oriflame mungkin udah banyak yang tahu yaaaa...tappiiiiii kejutan kejutan yang menakjubkan dibalik oriflame pasti banyak yang belum tahuuuu...hayyoooo gabung biar kita sama-sama bisa mendapatkan kejutan-kejutan menakjubkan itu :)

Tadinya, aku juga nggak begitu tertarik, kayaknya nggak beda-beda jauh dengan mlm..tapiii setelah aku berinteraksi dengan mbak-mbak cerdas cantik sukses dbc-network, hup Laaaa,,pikiranku langsung terbuka ! Yup, simple aja yang terbersit di otakku waktu itu, setiap bulan aku pasti selalu belanja bulanan kayak odol,sabun,peralatan anak,dll..nah, kalo aku belanja di swalayan kan gak dapat apa-apa tuh, maka kalo dialihkan k oriflame maka kebutuhan bulanan tetap terpenuhi pluussss bisa berbisnis..hmm..aku bilang ini pilihan Cerdas !

Selain kebutuhan bulanan terpenuhi, kita juga bisa makin cantik dengan produk-produk yang sudah terpercaya di seluruh dunia dan selalu up date, jadi kita nggak akan ketinggalan jaman. Bagaimanapun wanita harus selalu tampil cantik kaaann :)

Nah, sudah cerdas, cantik, punya bisnis yang oke lagi..apa nggak dibilang sukses tuh ! assiiiikkk kaaaannnn ?! bisa bantu-bantu suami tercinta, bisa nyenengin diri sendiri..kereeeeennn :)

Dengan teamwork yang solid, dijamin kita nggak akan sendiri dalam menjalankan bisnis ini.

Jadi tunggu apa lagi ? yuukkk kita cerdascantiksukses sama-sama di dbc-network :D

Caranya Fieeennnnn ????

Gampaaaaanggg...klik aja banner disamping entri ini..ntar langsung bisa daftar deh,,kalo nggak hubungin aku aja di fesbuk, ym, ato bbm okkaaaayyyyy :D

Thanks To Allah SWT

Alhamdulillah di tahun 2011 ini banyak sekali rejeki yang Tuhan berikan untuk aku. Rejeki terbesar pertama adalah kehamilan keduaku yang teramat dinanti-nanti. Rejeki berikutnya yang menakjubkan adalah ternyata hasil USG, aku bakal dapat momongan cowooookk yang bakal menyempurnakan hidupku setelah anak pertama cewek :) hmm..selanjutnya rejeki berupa terbangunnya sebuah rumah yang kami dapatkan dari hasil jerih keringat aku dan suamiku..neeexxxttt rejeki lainnya bakal dapat kenaikan gaji pns 15 persen *cihuyyy*, truuussss bisa berkesempatan bergabung dengan mba nisa,mb dian,mb vita menjalankan bisnis dbc network *assiikk nambah pengalaman&sahabat baru yg menginspirasi* Big Thax to Allah yang sudah begitu baiiiikk memberiku banyak rejeki di awal tahun ini. Alhamdulillaaaaaahhh :)
Oyaaaa..di tahun 2011 ini juga diawali dengan kemenanganku&putriku Keisha jadi juara I Lomba menulis cerita Bebelac *yippiieeeee*
Kesabaran itu akan membuahkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan. Susah senang hanya sebagian dari proses yang ada. Namun keiklasan, kesabaran, dan ketegaran dalam menjalaninya adalah hal terpenting yang harus dinomorsatukan.
Bahagiaku dengan rejeki-rejeki itu semua, tapi dibalik semua itu ada setangkup pelajaran-pelajaran berharga tentang hidup yang harus aku pelajari, mau tidak mau, suka tidak suka.
Agaiiiiinnn,,,susah senang yang penting bagaimana kita memaknai itu semua. Dan pelajaran berharga itu tak akan kita dapatkan kalau kita tidak pernah mau mencoba !
Ni dia calon rumah aku dan keluarga kecilku.
Bukan kemewahan yang menjadi ukuran kebahagiaan kami, tapi bagaimana usaha keras kami untuk mewujudkan itu semua adalah kebahagiaan yang tak terbayarkan oleh apapun..

Sabtu, 26 Maret 2011

Juara I Lomba Cerita Bebelac

Bahagiaaaaa banget saat tahu kami dapat juara I Lomba Cerita Bebelac. Apalagi pesertanya dari seluruh Indonesia, nggak kebayang cerita sederhana yang kami buat bisa terpilih jadi juara I.

Hadiah bukan hal yang utama bagi kami, sebab yang terpenting adalah apresiasi juri terhadap tulisan kami.

Aku bangga dengan anakku mba Keisha yang mampu menjadi inspirasi dalam tulisanku itu. Bagiku, tanpa ada mba Keisha tentu takkan ada kesempatan untuk menulis cerita itu.

Thanks ya honey….

Selebihnya aku senang bisa membuat bangga suamiku, keluarga besarku…rasanya nggak ada yang lebih berarti ketika kita bisa membuat orang-orang yang kita sayangi bangga.

Yang membuat aku lebih bahagia lagi bahwa ini tuh sudah jadi harapan aku di tahun 2011. Dan alhamdulillah terwujud. Yaitu menjadi Juara lomba menulis.

Ada lagi obsesi aku, yaitu membuat single book. Mohon doanya saja, semoga itu juga dapat terwujud…amiiiiinnnn

Ket. Info pengumumannya di Nakita edisi 10-16 Januari 2011

Sabtu, 19 Maret 2011

Harapan Seorang Bunda Fien,,,

Setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik. Menjadi apa yg diharapkan orangtua. Identik dengan pintar di sekolah, selalu juara di ajang perlombaan, atau pandai bergaul dengan sesamanya.

Dulu aku juga berkeinginan seperti itu. Bangga rasanya jika punya anak yang pintar, berprestasi. Tapi kebanggaan itu memudar saat kulihat begitu banyak anak-anak jalanan yang begitu kuat dengan kerasnya kehidupan di jalanan. Ketangguhan itu yang membuatku berpikir bahwa sebenarnya itulah yang harus dimiliki setiap anak, terutama anakku.

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Akan jadi apakah anak-anak kita. Tentu harapan dan doa kita menginginkan anak-anak kita menjadi manusia yang sukses dan berhasil. Tapi apakah itu sudah menjadi jaminan bahwa kelak mereka akan seperti apa yang kita selalu harapkan dan doakan ???

Karena itulah aku berpikir bahwa yang anak-anakku butuhkan adalah jiwa yang kuat. Kuat dalam menghadapi segala kondisi dan kenyataan hidup yang kelak mereka terima. Aku ingin mereka selalu tegar dalam segala kondisi, susah maupun senang, berhasil maupun gagal. Maka kupersiapkan itu semua sejak sekarang.

Mental yang kuat akan mengantarkan kebahagiaan dari segala arah. Mental yang kuat juga menjadikan seseorang selalu menjadi manusia yang bersyukur dengan keadaannya, apapun itu, menjauhkan dari rasa berputus asa. Sehingga kebahagiaan itu tetap ada walaupun kesusahan dan kegagalan harus dialami.

Mental yang kuat tercermin dari sikap mandiri. Mandiri itu bisa diciptakan melalui kebiasaan yang diajarkan terus menerus sejak dini. Mengajarkan kemandirian pada anak tentu berbeda-beda antara orangtua. Namun aku yakin tidak ada satu pun orangtua yang menjerumuskan anak-anaknya ke keburukan. Jadi tidak masalah, dengan cara apapun harus ditempuh untuk menciptakan anak yang berkepribadian mandiri.

Seperti halnya anak-anak jalanan. Aku yakin, orangtua mereka pun juga selalu mendoakan yang terbaik untuk mereka. Tetapi ketika kenyataan berkata lain dan tak seindah yang diharapkan, apakah lantas harus disikapi dengan penyesalan dan kekecewaan bertubi-tubi ? yang pada akhirnya menjerumuskan diri pada rasa putus asa ?! tentu tidak demikian...dan ketegaran yang dimiliki anak-anak jalanan itu menjadi pencerahan bagiku, bahwa menciptakan pribadi yang kuat dan tangguh pada diri anakku adalah mutlak harus aku jadikan akar bagi kehidupan anak-anakku kelak.

Buatku prestasi di sekolah maupun dimanapun tak lebih dari hadiah talenta yang Tuhan berikan untuk anak-anak kita. Harus kita syukuri tentunya.

Namun yang terpenting adalah bagaimana mempersiapkan anak agar mereka siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang harus dihadapi. Manis pahit akan terjadi. Dan anak-anak yang mandiri dan memiliki mental kuat dan tangguh yang akan siap dengan kemungkinan-kemungkinan itu semua. Jika berhasil mereka akan memanfaatkan keberhasilan itu untuk hal yang positif, dan jika gagal mereka akan terus bangkit dan berusaha selalu.

Tidak mudah memang, tapi tidak mustahil bukan ?!

Seirampah, 19Maret2011

Sabtu, 12 Maret 2011

HILANG

Kubiarkan rindu itu menggerogoti jiwa
Hingga separuh jantungnya tak lagi berdetak
Sampai nyawanya berangsur hilang
dan ia hanya bersama sepi menunggu waktu
tak bertepi...tak berujung

Kubiarkan resah itu membabibuta
membutakan hatinya yang terlanjur beku
ia sendiri...kerap digiring masa lalu
dan membawanya dalam-dalam
tak ada yang tahu...ia pun tidak

kau tahu rasanya hilang ?
dialah yang tak berbekas, tak kembali...
lalu kukatakan bahwa hilang adalah
kerinduan !

Jumat, 11 Maret 2011

Pengen Bubu

Hadduuhh..udah pagi tapi blom bisa merem juga mana gak ada tulisan yang berhasil menetas lagi huffttt ya wes lah..walopun akhirnya cuma ngomel-ngomel gini yang jadi tulisan..aku paksain bubu dulu yah..byeee

Rabu, 09 Maret 2011

ORANGTUA SEBAGAI CENTRAL LOCK BAGI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA

Narkoba sudah merasuki berbagai kalangan dan umur di Indonesia. Mulai dari tingkat pemakai hingga pengedar. Bahkan saat ini, tidak ada lagi batasan yang jelas mengenai peredaran narkoba ini. Kalau dulu identik beredar di tempat-tempat hiburan malam, tempat-tempat prostitusi, di jalanan, dll. Tapi kini, narkoba sudah merambah ke rumah-rumah, tempat kos, bahkan sekolah. Pemakai dan pengedar bukan lagi kalangan terbatas, tapi juga sudah meliputi berbagai kalangan dengan berbagai tingkatan. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Profesi dari tukang becak hingga pengusaha. Semuanya dapat dengan mudah menjadi budak narkoba. Jadi sudah semestinya kita lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya narkoba ini. Baik dengan meningkatkan imtaq maupun meningkatkan pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya narkoba, sehingga bisa membentuk defence, setidaknya bagi diri kita sendiri, terhadap pengaruh bahaya narkoba.

Selama ini sosialisasi yang diadakan oleh pihak-pihak terkait lebih ditujukan kepada kaum remaja dan muda saja. Yang menjadi target utama adalah siswa-siswi sekolah dan mahasiswa. Alasan yang ada karena mereka adalah generasi-generasi muda bangsa yang harus dilindungi dari bahaya penyalahgunaan narkoba. Kalangan pelajar dianggap masih bersih dan dapat dihindarkan dari bahaya narkoba secara dini.

Sistem sosialisasi ini memang penting, karena mengena langsung pada sasaran kalangan pengguna yang menjadi incaran pelaku-pelaku pengedar narkoba, mengingat bahwa kalangan remaja dan muda masih memiliki sifat labil dan berada dalam tahap pencarian jati diri, sehingga cukup mudah mempengaruhi mereka.

Akan tetapi, semua itu rasanya menjadi sesuatu yang timpang dan agak kurang mengena, ketika orangtua tidak mendapatkan juga sosialisasi yang sama. Logikanya, anak-anak tahu informasi tentang narkoba tapi orangtua tidak. Hubungan yang tidak seimbang ini tentu saja dapat mengurangi komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Padahal, komunikasi ini sangat penting guna membentuk perlindungan orangtua terhadap anak terhadap bahaya dunia luar termasuk didalamnya narkoba.

Ketidaktahuan orangtua sangat fatal bagi perkembangan anak terutama remaja. Dimana seharusnya orangtua dapat menjadi sahabat bagi anak, sehingga dapat memfilter informasi-informasi yang didapat anak. Bisa dibayangkan jika orangtua tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya narkoba.

Untuk itu seharusnya target utama dari sosialisasi ini adalah para orangtua. Terutama mereka yang memiliki anak-anak remaja. Mengapa ? sebab berdasarkan fakta yang ada (sumber BNN) diketahui bahwa hampir 90 % orangtua tidak mengetahui jika anaknya terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, baik sebagai pengguna saja maupun pengguna dan pengedar. Padahal disini orangtua merupakan central lock dari berbagai tingkah laku remaja yang ada. Orangtua merupakan central point yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pergaulan anak-anak mereka. Akibatnya, sangat fatal jika sampai orangtua tidak mengetahui anak-anaknya terlibat narkoba, apalagi tidak mengetahui sama sekali tentang apa itu narkoba dan bagaimana bahaya serta penyebarannya.

Harusnya ada sosialisasi berkala bagi kalangan orangtua, terutama di seputar wilayah terkecil seperti desa dan kecamatan. Sebab, seperti kita ketahui bahwa kebanyakan pengetahuan mengenai bahaya narkoba ini kerap tidak tersampaikan dengan baik hingga wilayah yang terkecil. Bisa ditebak, para orangtua yang berada di wilayah pedesaan dan kecamatan mengaku tidak tahu tentang bahaya narkoba dan seluk beluknya. Padahal, peredaran narkoba saat ini sudah merambah pesat di wilayah desa dan kecamatan.

Jika sudah demikian, maka yang seharusnya menjadi target utama dari sosialisasi penyalahgunaan narkoba adalah para orangtua. Hal ini guna untuk meminimalisasikan secara dini tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak melalui lingkup keluarga. Bukankah akan lebih baik jika pengetahuan tentang bahaya narkoba itu didapatkan anak-anak langsung dari orangtua atau keluarga ketimbang dari lingkungan luar yang begitu luas dengan beragam opini.

Pencanangan “Orangtua Cerdas Narkoba” sebagai simbol kampanye utama anti narkoba sudah saatnya disosialisasikan secara besar-besaran agar mendapat perhatian yang lebih bagi para orangtua di Indonesia. Narkoba bukan lagi sesuatu yang bisa dikesampingkan keberadaannya. Siapapun, dimanapun, bagaimanapun, kapanpun narkoba bisa menyelinap dengan mudahnya. Narkoba tak ubahnya penjahat nomor satu dibandingkan teroris. Tentunya kita sangat tidak menginginkan anak-anak kita menjadi korban kejahatan narkoba. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa minimnya pengetahuan tentang narkoba ini menjadikan para orangtua lemah dalam melindungi anak-anaknya selain menyesali dan kecewa setelah mengetahui dengan terlambat bahwa anak-anaknya sudah terlibat penyalahgunaan narkoba yang melayangkan nyawa sebagai taruhannya.

Dengan demikian, sudah semestinya pihak-pihak penyelenggara sosialisasi lebih memfokuskan diri pada sosialisasi bagi kalangan orangtua sebagai langkah seimbang dengan upaya sosialisasi bagi kalangan remaja dan muda. Perbanyak kampanye-kampanye anti narkoba bukan hanya di lingkup perkotaan tapi juga di pedesaan dan kecamatan agar informasi yang sampai tepat pada sasaran dan bersifat menyeluruh merata.

Fien Prasetyo

Rabu, 02 Maret 2011

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN

OLEH : FIEN PRASETYO

Perempuan itu nampak tenang. Tubuhnya mulai menghitam terbalut kain selendang batik lusuh yang entah sudah berapa puluh tahun tak tersentuh busa deterjen. Bajunya kaos bertuliskan salah satu partai berwarna kuning. Dengan rambut yang terikat muncung ke atas, membuka parasnya yang ayu, meski kirut-kirut di dahi tampak menyembunyikan keayuannya.
Bau menyengat memenuhi kubus bambu dengan lantai tanah. Tak sedap. Bukan hanya berasal dari kencingnya yang meresap di rongga-rongga tanah dan kotoran yang telah berubah menjadi kompos, tapi juga merebak dari luka-luka basah dan menganga di selangkangan, pergelangan kaki, lutut, dan juga koreng bernanah di kepala.
Luka-luka itu akibat jerat pasung kayu dengan rantai besi menjuntai ke tanah sebagai gembok yang kuat. Jamur tumbuh subur di selangkangan berdampingan dengan borok karena gesekan paha yang lengket dan lembab. Setiap hari, berpuluh tahun lamanya.
Perempuan itu tak lagi memiliki pilihan. Jika ia harus marah maka ia akan berteriak-teriak sambil menendang-nendangkan kakinya yang semakin mengecil. Matanya memerah, seperti leker yang siap keluar. Kukunya panjang legam mengais-ngais tanah yang bisa ia jangkau. Hingga tanah itu porak poranda, semburat, dan cacing-cacing didalamnya berlarian keluar. Buat ia, cacing itu teman, dan teman harus rela untuk dimakan. Hap. Ia melalapnya tanpa sisa.
Tapi jika ia merasa harus tenang, maka ia akan menatap nanar langit-langit bambu dengan celah besar sehingga bisa menampung sengat matahari atau curahan hujan. Maka tak memerlukan rutinitas mandi laiknya manusia biasa. Basah lalu kering dengan otomatis. Seperti ada sebongkah kenangan berusaha diingatnya. Entah apa.
Perempuan itu sama sekali tak punya pilihan. Ia hanya punya marah dan tenang. Jika tidak marah ya tenang, jika tidak tenang ya marah. Ia tak bisa memilih untuk tidur untuk meredam marah, atau memilih menikmati secangkir teh hangat untuk merayakan ketenangannya. Melolong, berteriak, meringis, atau diam. Tidak lebih tidak kurang.
Penduduk kampung telah terbiasa dengan lolongannya saat tengah malam. Persis serigala yang mencari pasangannya. Melolong getir dan terdengar menyayat. Namun, apa lacur, tak satu pun yang berani menyambanginya, setidaknya memberinya selimut sebagai penahan desir angin malam yang membuatnya nyaris beku.
Kecuali seorang tua yang selalu iba. Meski tidak setiap hari ia menyapa perempuan itu, namun pertemuan dua hari atau tiga hari sekali itu seperti kerinduan yang membabibuta. Tua mendekat dan berbincang tanpa jawaban. Hanya tatapan kosong dan bibir kelu yang coba ia baca. Tua mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng sendiri. Sejurus kemudian terbahak dan menangis. Semua sesuka hatinya. Ia seperti menemukan dunianya sendiri. Jika demikian ia merasa bahagia dan hidupnya tercukupi.
Tua menyodorkan sebungkus roti dengan sedikit jamur di tiap sisinya. Aromanya tengik. Setengik bau badannya. Roti itu sudah tinggal separuh. Ada secuil cokelat di dalamnya. Perempuan itu hanya diam. Memandang roti itu pun tidak. Ia lebih memilih sibuk memelintir ujung rambutnya yang jatuh beberapa helai.
“Maaf ya nduk..separuh tadi sudah aku makan. Tadi aku sangat lapar. Untung ada roti ini di bak sampah depan rumah pak kades. Pasti roti sisa anaknya. Sombong mereka. Roti masih enak gini kok dibuang. Trus aku ingat sama kamu nduk, pasti kamu ngemut cacing lagi. Iya toh ?!” kata Tua tanpa membutuhkan jawaban.
“Dimakan to nduk,,jamurnya mirip jamur di selangkanganmu ya..” Tua terkekeh sebelum akhirnya terbatuk-batuk.
Perempuan itu tetap membisu. Tak sedikit pun ia mengeluarkan suara. Mendesis sekali pun.
“Nduk, besok aku ndak nyambangi kamu ya..aku besok harus ke TPA..besok kan hari Kamis, jadwal truk sampah menumpahkan semua isi baknya. Sampah se kampung, pasti banyak yang kudapat. Tapi ya itu,,aku harus berebutan sama ratusan pemulung. Kalo ndak cepat ya ndak dapat apa-apa nduk.” Kata Tua, lagi-lagi tanpa jawaban.
“Nduk, borokmu kok tambah parah sih nduk..” ujar Tua sembari membelai pergelangan kaki perempuan itu dengan teramat lembut.
Perempuan itu menggeliat pelan. Sentuhan kulitnya dengan kulit Tua seperti sentuhan yang aneh. Terasa asing di pikirannya. Tapi tampaknya, kelamaan ia menikmatinya. Sentuhan dengan sedikit pijitan lembut itu dibiarkannya terjadi. Ia tak marah.
“Enak ya nduk..” Tua tersenyum lega sambil meneruskan pijitannya.
“Nduk, kalau ndak ada aku, kamu pasti ngemut cacing terus ya..”
“Apa enak to nduk ?”
“Kasihan kamu nduk...”
Perempuan itu mendesah. Matanya mulai tajam menatap Tua. Seperti ingin memakan Tua seperti ia memakan cacing-cacing itu.
Tua menyadari itu. Pasti perempuan yang dipanggilnya nduk itu sudah merasa risih dengan pijitannya. Maka ia pun melepaskan jemarinya dan beringsut mundur, menjauhinya, bersandar di dinding bambu.
Nafasnya tersengal-sengal. Batuknya meledak-ledak. Sebentar-sebentar ia meludah mengeluarkan riak-riak berwarna cokelat kehijauan. Terkadang riak itu berwarna merah segar. Tak banyak tapi cukup membuatnya tersiksa.
Tua mencoba memejamkan matanya. Meski tak lama, karena tiba-tiba ia terbangun dan segera beranjak dari duduknya. Disandangnya buntalan kain putih kecokelatan di bahu kanannya. Entah apa isinya. Yang jelas berharga untuknya.
“Aku pergi dulu ya nduk. Kamu jangan marah-marah saja. Ati-ati ya nduk..doakan aku ya nduk..” pamit Tua sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan perempuan itu sendiri. Kembali sepi. Tak ada suara. Senyap dan anyep.
Perempuan itu kembali sibuk memelintir sebagian rambutnya. ***

Penduduk kampung kali ini ketakutan. Lolongan perempuan itu tak biasa. Pagi melolong tanpa henti, semakin malam semakin menjadi. Mengalahkan suara anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan kucing bersenggama pun tak berani mengeluarkan suaranya. Kampung semakin menakutkan. Penduduk tak sanggup mendengar lolongan itu. Sebab akan memekakkan telinga siapa dan apapun. Niscaya, ia akan tuli seumur hidupnya. Maka, sepanjang hari penduduk harus memakai kapas untuk meredam pekik lolongan itu. Kapas itu disumbatkan di telinga masing-masing.
Lolongan yang biasanya menyayat hati, kini berubah menjadi teror yang menakutkan. Semua makhluk Tuhan yang berdiam di kampung itu benar-benar dilanda ketakutan yang luar biasa.
Perempuan itu terus melolong. Ia seperti sedang memanggil-manggil dan mencari-cari. Airmata yang telah berpuluh tahun tak menetes, tiba-tiba jatuh, berderai. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Bahkan ia tak punya lagi tenang. Hidupnya hanya marah dan marah. Melolong dan melolong.
Hanya Tua yang bisa membaca lolongan itu. Tapi seminggu sudah Tua tak menyambanginya. Perempuan itu merasakan kerinduan yang membabibuta. Ia berharap Tua mendengar lolongannya. Tapi tak jua. Tua tetap tak datang. Ia mengingkari janjinya. Tua bohong.
Tua itu tak akan pernah datang. Selamanya perempuan itu akan melolong dan menebar teror. Ia tak tahu bahwa Tua telah mati. Ia tak tahu bahwa Tua telah meninggalkannya dan membiarkannya makan cacing seumur hidupnya. Tua akan membiarkan pasung itu menggerogoti kakinya sampai habis. Dan mungkin, tak lama lagi ia akan menyusul Tua. Mati tak terkubur. Hingga cacing yang akan bergantian mengerubuti dan memakan dagingnya yang anyir.
Perempuan terpasung itu kembali melolong membabibuta. ***
0303011 @my office

Selasa, 01 Maret 2011

BINATANG

Oleh : Fien Prasetyo

Sahabat itu harus selalu ada disaat kita membutuhkan. Saat kita sedih, bahagia, dilanda kegundahan. Bahkan sahabat itu harus turut merasakan apa yang kita rasakan.Katanya, kalau kita menangis, maka ia yang akan menyeka airmata kita, saat kita tertawa maka ia akan ikut terbahak bersama kita.
Sungguh sosok sempurna, jika memang itu adanya. Nyata.
“Ah ! Bulsitt !!!” makiku sambil melempar buku diary pink milik Mimin. Teman sekamarku.
Mimin memungut diary kesayangannya itu. Dibersihkannya perlahan dengan meniup-niup. Perlakuan yang aneh !
“apa sih yang ada di otak kamu Min ?!” tanyaku
“Maksudmu ?” Mimin balik nanya
“Bangun Min,,haloooo,,dunia ini nggak sebaik yang kamu pikir !”
“Tapi aku masih percaya sahabat Din..” jawabnya polos
Aku ngakak. Sudah menduga pasti itu jawaban yang bakal terlontar dari bibir piciknya itu.
“Oyaaaa ? aku ini sahabatmu bukan ?” godaku geli
Mimin tersenyum sembari meletakkan diary pink nya di atas rak meja belajar. Seperti sedang memberi tempat yang terpuji untuk lembaran-lembaran berisi tulisan-tulisan gak masuk akal itu.
“Iya lah Din,,kamu juga sahabat aku.”
“Hahahaaaa....” kembali aku tergelak.
“Tapi aku nggak mau lo menyeka airmatamu !”
“Buatku, kamu tetap sahabat aku Din..karena aku nggak peduli kamu balas kebaikanku atau nggak,,yang jelas aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu..”
Kali ini aku tak mampu lagi menahan airmataku. Maaf, bukannya terharu dengan kata-katanya, tapi justru tak kuasa menahan tawa sampai berurai airmata.
Mimin terdiam. Mulai nampak kesabarannya terusik oleh sikapku. Aku tahu aku kelewatan, tapi itu lebih baik, daripada aku pura-pura baik, tapi di belakang dia aku jahat. Aku ingin Mimin membuka mata, melihat dunia, bahwa dunia ini bukan sandiwara, dunia ini nyata. Setiap manusia punya kesempatan dan hak untuk berbuat jahat. Meski banyak nasehat dan petuah, tapi apalah guna. Sekali lagi, ini Dunia non !
***
Menapaki malam seperti menerobos belantara. Bedanya pepohonan disini berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit. Binatang buas, serigala, babi hutan, nyamuk hutan, disini menjelma menjadi monyet bergincu. Semakin larut maka semakin berkeliaran mereka mencari mangsa. Tak peduli kura-kura, siput, atau gajah sekalipun, semua seolah takluk dengan binatang jalang ini.
Tapi aku kagum dengan binatang-binatang itu. Kubilang binatang, bukan aku mengolok, tapi binatang itu bentuk pujianku terhadap mereka. Dalam alam berpikirku, binatang tak ubahnya hidup untuk mempertahankan dirinya. Bagaimana ia bisa mencari makan, bagaimana ia berkoalisi, bagaimana ia bisa melindungi keturunannya. Tak ada yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, apalagi kecurangan-kecurangan yang merugikan pihak lain. Ia berbuat dan ia bertanggungjawab. Tak melibatkan apalagi merugikan binatang lain. Sedangkan manusia, justru tak ubahnya binatang. Tak merasa bahwa dirinya tak lebih baik dari seekor binatang. Namun sayangnya, mereka gagal menjadi binatang dalam harfiah yang sesungguhnya. Akibatnya, mereka lebih pas dijuluki manusia setengah binatang atau manusia jadi-jadian ! ah !
Mimin menepuk bahuku. “pulang yukkk Din..ngapain sih kita disini ?” rautnya mulai gelisah
“Hah ?! ngapain ??? udaaaah nikmatin aja knapa sih Min ! kamu belum pernah tahu kan, bahwa dibalik gemerlapnya kota malam hari, ternyata masih ada dunia remang-remang kayak gini !”
“Aku takuuutt Din,,ntar kita dikira orang lagi jualan badan lagi...” Mimin makin ketakutan dan berusaha sembunyi di balik punggungku
“Takut ?! apa karena kita lagi di komplek pelacuran ? berkumpul dengan para pelacur ?” tebakku setengah geli
Mimin hanya mengangguk.
Aku tak menggubris dan malah kuhisap kretekku dalam-dalam.
“Aku pulang deh yaaa...biar aku naik taksi aja.” Mimin mengancam sambil cemberut
Aku segera menyergah, “Eit,,jangan dulu donk..emang kamu tahu jalan pulang kemana Min ? Ntar nyasar malah nyusahin aku tauk !” sergahku sambil mencengkeram tangannya kuat.
Aku mengajaknya duduk di pinggiran pot bunga trotoar.
“Kamu nyesel aku ajakin kesini ?” tanyaku masih dengan asap mengepul di hidung dan mulutku.
“Iya. Aku pikir kamu mau ngajak aku ke tempat yang baik-baik, nggak taunya malah diajakin ke tempat kayak beginian. Kalau nampak temen-temen kampus gimana ? kan dipikir mereka kita pelacur juga kayak mereka !” suara Mimin bergetar.
Aku menancapkan puntung kretekku di tanah.
“Nanti kamu akan berterima kasih padaku..” ujarku singkat.
“Kok bisa ?!”
“Aku cuma pengen kamu tahu bahwa dunia itu nggak hanya berisi kehangatan-kehangatan dan keindahan-keindahan yang selama ini kamu rasakan. Kamu hanya tahu nikmatnya tidur di kasur yang empuk, kamar kos yang ber AC, buku-buku yang menumpuk siap dibaca, karpet bulu yang lembut, atau sekadar cerita-cerita konyolmu di diary merah jambumu itu...”
“Ya hidup kan memang untuk dicari kenikmatannya Din..” elaknya
“Kamu nggak pernah tahu bahwa dunia itu buas. Bahkan kamu nggak pernah menyadari bahwa kehangatan dan kenikmatan hidup yang selama ini kamu agungkan itu hanya semu. Kamu sudah dibutakan dengan roman picisan yang hanya ada di dalam novel dan lagu. Kamu anggap dunia ini sinetron apa ? dimana yang baik hati, lemah lembut, maka akan selalu menjadi pemenang kehidupan ??”
Aku berhenti sejenak.
“Hidup itu tak lebih dari perjuangan dan pengorbanan nyata. Apapun itu, bagaimana bentuknya itu. Perjuangan itulah yang bisa kau agungkan sebagai sahabat ! Bukannya mereka yang selalu memujimu, membantumu di saat kamu susah, atau mereka yang sanggup meyeka airmatamu. Apalagi mereka yang berjanji akan selalu ada untukmu disaat susah maupun senang...”
“Kamu nggak pernah sadar, bahwa justru merekalah yang akan menghancurkan hidupmu. Merekalah yang akan selalu membuaimu dengan mimpi-mimpi. Sementara hidup itu bukan mimpi non ! Hidup itu realita ! Kamu nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Semua orang akan mati. Dan kalau sahabatmu itu mati, apa mereka masih sanggup berjanji untuk selalu ada untukmu ?!”
“Disaat kamu punya kesulitan, uang pasti..mereka dengan senang hati meminjamkannya untukmu. Mereka sudah mengajarkanmu menjadi manusia pemalas yang tak mampu berjuang untuk mendapatkan apa yang kamu butuhkan dengan keringatmu sendiri...”
Mimin tertegun. Aku tak pernah berharap Mimin mengikutiku. Biar dia membuka cakrawala hati dan pikirannya sendiri tanpa bantuanku. Bagaimana caranya. Dia yang tahu.
“Jadi, sahabat itu nggak pernah ada ya Din ?” tanyanya pelan
“Tergantung kamu anggap apa arti sahabat itu.” Jawabku pasti.
Tiba-tiba seorang pria perlente menghampiri kami. Baunya mesum. Menusuk hidung. Sangat tidak sedap. Mimin bersembunyi di balik badanku. Begitu ketakutan, seolah ia melihat hantu di hadapannya.
“Hai..” sapanya ramah.
Aku membalas dengan tersenyum.
“Boleh aku duduk di sini ?”
Aku memberinya space sedikit dengan bergeser.
Mimin semakin ketakutan.
“Kenapa mas ?” tanyaku to the point.
“Jujur aku sedang melakukan penelitian tentang PSK nih,,bantuin ya..” harapnya.
Aku tersenyum, “Kalau untuk informen apalagi narasumber, mas salah alamat.” Jelasku
“Jadi kalian ?”
“Bukan,,kami juga sedang melakukan pendalaman sesuatu tentang kehidupan disini..”
“Ooohh,,sori yaaa..kalau gitu kita sama ya..”
Aku tersenyum saja.
Mimin mulai menampakkan wajahnya. Ketakutan itu berangsur hilang.
Sesaat kemudian, kami sudah terlibat pembicaraan yang sangat mengasyikkan. Kulihat Mimin juga sangat menikmati obrolan kami. Hingga tanpa terasa, malam semakin pekat. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Dan kami memutuskan untuk mengakhirinya dengan hati bahagia. Taksi membawa kami pulang.
***
“Bangun Diiiiinnn !!!” teriak Mimin
Sontak aku melayang dari kasurku. Ingin kutinju mukanya.
“Knapa ? mau ninju mukaku ?!” tebaknya sambil menahan tawa
Kubenamkan lagi mukaku dibalik bantal. “takut ah,,ntar gak dianggap sahabat lagi sama kamu.” Selorohku sambil cekikikan.
“Ntar malam ajak aku lagi kesana ya Din..baru deh kamu sahabatku forever.” Pinta Mimin
Aku tersentak, “HAAHHH ?!”
“Kamu mau ngapain kesana ?jangan-jangan kamu jatuh cinta yaaaa sama Edo, cowok yang tadi malam ituuuuu,,hayyoooooo..”
Pipi Mimin memerah. “Nggak aahhh,,”
“Jadi, mau ngapain dunk kesana ? ntar nggak takut ketahuan temen-temen kampus dibilang pelacur ?”
Mimin mencubit pinggangku, “Udah deeeh jangan ledekin aku terusss..”
“Aku sudah punya sahabat sekarang Din..”
“Rani ? Widya ? Dessy ? atauuu Luna ?”
“Mereka..mereka yang kamu bilang binatang itu Din..”
Aku tergelak, “Kok bisa ?”
“Hmm..kamu bener Din, aku merasa petualangan kita semalam adalah awal perjuanganku dalam hidup.”
“Halah, alay !”
“Kok malah dibilang alay sih !” Mimin cemberut.
“Ya eyalaaahhh..mana mungkin sih pola pikir kamu yang sudah 20 tahun merongrong bisa berubah hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya kayak gini..”
Mimin manyun. Ia nampak bingung.
Aku mengacak-acak rambutnya, “udah gak usah bingung kayak monyet gitu, apapun yang ada di otak kamu sekarang, aku nggak peduli. Otak-otak kamu,,terserah mau kamu apain. Yang jelas aku hepi kamu ngajak aku kesana lagi..hehee.”
“Kok gitu ?”
“Iya, biar kamu bisa mikir sendiri. Nggak menganggap aku sahabatmu lagi. Karena aku lebih suka jadi binatang piaraanmu ketimbang jadi sahabatmu. Karena aku nggak sanggup berjanji muluk-muluk sama kamu. Apalagi menyeka airmatamu...iiihhhh...najis !”
Mimin menggaruk-garuk jidatnya yang nggak gatal. BINGUNG !!!
Aku terbahak-bahak dari balik pintu kamar mandi.
***
02032011 @my office

PEREMPUAN BERMATA ELANG

(DARI SEBUAH PUISI “PEREMPUAN BERMATA ELANG” BY FIEN PRASETYO) 


Matanya setajam elang. Membelah malam dan menyusurinya dengan naluri yang kuat. Mengais diantara bekicot-bekicot berlendir, dan berharap mendapat kilau permata dalam sekejap. Ia tak peduli jika harus terhempas ke ujung aspal, dengan gincu menyala terkoyak pun ia masih sanggup untuk bertahan. Permata itu harus ada di cengkeraman kuku-kuku merahnya.
“kau bekicot tua,,minggir !” usir seekor hidung belang. Lebih pantas ia menyebutnya seekor, karena ia tak ubahnya lintah liar yang beracun.
Perempuan itu tetap berdiri dan membiarkan tubuhnya bertubrukan dengan bekicot-bekicot lain yang berebut ingin mendapatkan air liur lintah beracun itu.
Tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya yang menyala. Tapi, matanya tak henti menikam si lintah bertubi-tubi dan sangat kejam.
Ajaib !
Si lintah berangsur tersenyum padanya. Menyibak puting-puting yang berkeliaran mengerubutinya. Ia merasa sedang melihat kucing betina yang mengeong dan mengharap. Aneh memang, seekor lintah bisa membayangkan birahi dengan seekor kucing.
“Naik ke mobil,,” si lintah langsung menempel dan menggiringnya masuk ke dalam mobilnya yang mewah.
Perempuan itu masih terdiam. Menuruti semua keinginan si lintah. Seperti memasrahkan begitu saja raganya yang wangi ternodai dengan lendir-lendir beracun.
Meski sudah 40 tahun, dan kerap dijuluki bekicot tua, namun ia tak pernah sejengkal pun melewatkan tanggungjawabnya sebagai seorang bekicot.
Perlahan, ia menjilati sudut demi sudut liur beracun itu dengan desahan yang naik turun, tanpa lelah, tanpa ragu, dan tanpa batas. Menyatu, bergumul antara bekicot dan lintah. Tak menyisakan setetes pun lendir di sela selangkangan yang terus menganga dan memanggil-manggil.
Perempuan itu semakin tajam menatap si lintah seperti belati yang siap membelah kelaminnya dengan beringas.
Laki-laki dewasa bertajuk lintah itu mengerang. Bukan lagi kenikmatan yang ia rasakan, tapi kesakitan. Beberapa bagian kulitnya terkelupas, tercabik oleh mata liarnya.
“Sudah...sudaaaaahh...cukuuuuppp !!!” teriak si lintah sambil menghempaskan tubuh molek perempuan itu ke pintu mobil.
Tak sedikit pun perempuan itu mengaduh. Sepertinya ia sudah tahu bahwa akan begini akhirnya. Seperti akhir-akhir malam yang kemarin. Sama. Persis.
Masih dengan mata yang tajam, ia telusupkan satu per satu benik berwarna biru dengan jemarinya yang lentik namun mulai nampak berkerut. Kemudian turun dan menaikkan secarik kain bunga-bunga hingga menyangkut rapi di pinggangnya yang ramping. Namun ia biarkan celana dalamnya menyangkut di dashboard. Sebagai tanda pengingat, bahwa ada malam ini.
Namun sebelum ia beranjak, ditariknya kulit cokelat berbentuk kotak di jok belakang. Nampak olehnya sepuluh lembar seratus lembar. Ditariknya delapan lembar. Sengaja ia sisakan dua lembar lagi, untuk ongkos berobat.
Uang itu terselip di antara dua buah dadanya. Jika demikian, takkan ada yang berani mengganggunya.
Perempuan bermata elang itu pun terbang di tengah malam. Pekat. Menghilang diantara sorot lampu kota yang nampak remang karena banyak kepik beterbangan mengitari. Hingga pagi.
***
Seluruh penghuni simpang empat terkejut. Ketika seorang nenek tua berteriak histeris. Dilihatnya seorang laki-laki dewasa mati bersimbah darah di samping mobil mewah berwarna abu. Tubuhnya terkoyak-koyak habis tak bersisa. Kejam. Sadis.
Warta kota mengabadikan peristiwa ini, dan petugas kepolisian nampak sibuk berlalu lalang memberi garis polisi. Ah ! terlalu berlebihan. Seharusnya mayat itu dibiarkan saja. Toh, harusnya semakin baik jika setiap malam ada satu yang mati, hingga akhirnya habis yang namanya lelaki hidung belang. Mereka kapok. Mereka takut.
Tak kan ada jejak berarti yang akan menyingkap kematian-kematian ini setiap malam, sepanjang hidup. Sebab, perempuan itu tak memiliki bekas. Ia terlalu cerdas dibanding manusia biasa yang hidup di siang hari. Sebab ia tak hidup di siang hari. Semua lenyap seperti terhempas badai.
Separuh dari ibu-ibu yang menyaksikan peristiwa ini bergumam, bahwa ini adalah perbuatan hantu perempuan yang mendiami simpang empat. Laiknya Si Manis Jembatan Ancol, atau hantu-hantu terowongan cassablanka.
Tak ada yang tahu. Dan tak akan ada yang tahu. Selain keheranan dan kebisuan mereka sembari menenteng seplastik besar hitam berisi secarik-secarik celana dalam yang selalu tertinggal bersama dengan datangnya kematian seekor lintah.
***
1 Maret 2011 @ my office