Selasa, 01 Maret 2011

PEREMPUAN BERMATA ELANG

(DARI SEBUAH PUISI “PEREMPUAN BERMATA ELANG” BY FIEN PRASETYO) 


Matanya setajam elang. Membelah malam dan menyusurinya dengan naluri yang kuat. Mengais diantara bekicot-bekicot berlendir, dan berharap mendapat kilau permata dalam sekejap. Ia tak peduli jika harus terhempas ke ujung aspal, dengan gincu menyala terkoyak pun ia masih sanggup untuk bertahan. Permata itu harus ada di cengkeraman kuku-kuku merahnya.
“kau bekicot tua,,minggir !” usir seekor hidung belang. Lebih pantas ia menyebutnya seekor, karena ia tak ubahnya lintah liar yang beracun.
Perempuan itu tetap berdiri dan membiarkan tubuhnya bertubrukan dengan bekicot-bekicot lain yang berebut ingin mendapatkan air liur lintah beracun itu.
Tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya yang menyala. Tapi, matanya tak henti menikam si lintah bertubi-tubi dan sangat kejam.
Ajaib !
Si lintah berangsur tersenyum padanya. Menyibak puting-puting yang berkeliaran mengerubutinya. Ia merasa sedang melihat kucing betina yang mengeong dan mengharap. Aneh memang, seekor lintah bisa membayangkan birahi dengan seekor kucing.
“Naik ke mobil,,” si lintah langsung menempel dan menggiringnya masuk ke dalam mobilnya yang mewah.
Perempuan itu masih terdiam. Menuruti semua keinginan si lintah. Seperti memasrahkan begitu saja raganya yang wangi ternodai dengan lendir-lendir beracun.
Meski sudah 40 tahun, dan kerap dijuluki bekicot tua, namun ia tak pernah sejengkal pun melewatkan tanggungjawabnya sebagai seorang bekicot.
Perlahan, ia menjilati sudut demi sudut liur beracun itu dengan desahan yang naik turun, tanpa lelah, tanpa ragu, dan tanpa batas. Menyatu, bergumul antara bekicot dan lintah. Tak menyisakan setetes pun lendir di sela selangkangan yang terus menganga dan memanggil-manggil.
Perempuan itu semakin tajam menatap si lintah seperti belati yang siap membelah kelaminnya dengan beringas.
Laki-laki dewasa bertajuk lintah itu mengerang. Bukan lagi kenikmatan yang ia rasakan, tapi kesakitan. Beberapa bagian kulitnya terkelupas, tercabik oleh mata liarnya.
“Sudah...sudaaaaahh...cukuuuuppp !!!” teriak si lintah sambil menghempaskan tubuh molek perempuan itu ke pintu mobil.
Tak sedikit pun perempuan itu mengaduh. Sepertinya ia sudah tahu bahwa akan begini akhirnya. Seperti akhir-akhir malam yang kemarin. Sama. Persis.
Masih dengan mata yang tajam, ia telusupkan satu per satu benik berwarna biru dengan jemarinya yang lentik namun mulai nampak berkerut. Kemudian turun dan menaikkan secarik kain bunga-bunga hingga menyangkut rapi di pinggangnya yang ramping. Namun ia biarkan celana dalamnya menyangkut di dashboard. Sebagai tanda pengingat, bahwa ada malam ini.
Namun sebelum ia beranjak, ditariknya kulit cokelat berbentuk kotak di jok belakang. Nampak olehnya sepuluh lembar seratus lembar. Ditariknya delapan lembar. Sengaja ia sisakan dua lembar lagi, untuk ongkos berobat.
Uang itu terselip di antara dua buah dadanya. Jika demikian, takkan ada yang berani mengganggunya.
Perempuan bermata elang itu pun terbang di tengah malam. Pekat. Menghilang diantara sorot lampu kota yang nampak remang karena banyak kepik beterbangan mengitari. Hingga pagi.
***
Seluruh penghuni simpang empat terkejut. Ketika seorang nenek tua berteriak histeris. Dilihatnya seorang laki-laki dewasa mati bersimbah darah di samping mobil mewah berwarna abu. Tubuhnya terkoyak-koyak habis tak bersisa. Kejam. Sadis.
Warta kota mengabadikan peristiwa ini, dan petugas kepolisian nampak sibuk berlalu lalang memberi garis polisi. Ah ! terlalu berlebihan. Seharusnya mayat itu dibiarkan saja. Toh, harusnya semakin baik jika setiap malam ada satu yang mati, hingga akhirnya habis yang namanya lelaki hidung belang. Mereka kapok. Mereka takut.
Tak kan ada jejak berarti yang akan menyingkap kematian-kematian ini setiap malam, sepanjang hidup. Sebab, perempuan itu tak memiliki bekas. Ia terlalu cerdas dibanding manusia biasa yang hidup di siang hari. Sebab ia tak hidup di siang hari. Semua lenyap seperti terhempas badai.
Separuh dari ibu-ibu yang menyaksikan peristiwa ini bergumam, bahwa ini adalah perbuatan hantu perempuan yang mendiami simpang empat. Laiknya Si Manis Jembatan Ancol, atau hantu-hantu terowongan cassablanka.
Tak ada yang tahu. Dan tak akan ada yang tahu. Selain keheranan dan kebisuan mereka sembari menenteng seplastik besar hitam berisi secarik-secarik celana dalam yang selalu tertinggal bersama dengan datangnya kematian seekor lintah.
***
1 Maret 2011 @ my office

Tidak ada komentar:

Posting Komentar