Rabu, 02 Maret 2011

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN

OLEH : FIEN PRASETYO

Perempuan itu nampak tenang. Tubuhnya mulai menghitam terbalut kain selendang batik lusuh yang entah sudah berapa puluh tahun tak tersentuh busa deterjen. Bajunya kaos bertuliskan salah satu partai berwarna kuning. Dengan rambut yang terikat muncung ke atas, membuka parasnya yang ayu, meski kirut-kirut di dahi tampak menyembunyikan keayuannya.
Bau menyengat memenuhi kubus bambu dengan lantai tanah. Tak sedap. Bukan hanya berasal dari kencingnya yang meresap di rongga-rongga tanah dan kotoran yang telah berubah menjadi kompos, tapi juga merebak dari luka-luka basah dan menganga di selangkangan, pergelangan kaki, lutut, dan juga koreng bernanah di kepala.
Luka-luka itu akibat jerat pasung kayu dengan rantai besi menjuntai ke tanah sebagai gembok yang kuat. Jamur tumbuh subur di selangkangan berdampingan dengan borok karena gesekan paha yang lengket dan lembab. Setiap hari, berpuluh tahun lamanya.
Perempuan itu tak lagi memiliki pilihan. Jika ia harus marah maka ia akan berteriak-teriak sambil menendang-nendangkan kakinya yang semakin mengecil. Matanya memerah, seperti leker yang siap keluar. Kukunya panjang legam mengais-ngais tanah yang bisa ia jangkau. Hingga tanah itu porak poranda, semburat, dan cacing-cacing didalamnya berlarian keluar. Buat ia, cacing itu teman, dan teman harus rela untuk dimakan. Hap. Ia melalapnya tanpa sisa.
Tapi jika ia merasa harus tenang, maka ia akan menatap nanar langit-langit bambu dengan celah besar sehingga bisa menampung sengat matahari atau curahan hujan. Maka tak memerlukan rutinitas mandi laiknya manusia biasa. Basah lalu kering dengan otomatis. Seperti ada sebongkah kenangan berusaha diingatnya. Entah apa.
Perempuan itu sama sekali tak punya pilihan. Ia hanya punya marah dan tenang. Jika tidak marah ya tenang, jika tidak tenang ya marah. Ia tak bisa memilih untuk tidur untuk meredam marah, atau memilih menikmati secangkir teh hangat untuk merayakan ketenangannya. Melolong, berteriak, meringis, atau diam. Tidak lebih tidak kurang.
Penduduk kampung telah terbiasa dengan lolongannya saat tengah malam. Persis serigala yang mencari pasangannya. Melolong getir dan terdengar menyayat. Namun, apa lacur, tak satu pun yang berani menyambanginya, setidaknya memberinya selimut sebagai penahan desir angin malam yang membuatnya nyaris beku.
Kecuali seorang tua yang selalu iba. Meski tidak setiap hari ia menyapa perempuan itu, namun pertemuan dua hari atau tiga hari sekali itu seperti kerinduan yang membabibuta. Tua mendekat dan berbincang tanpa jawaban. Hanya tatapan kosong dan bibir kelu yang coba ia baca. Tua mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng sendiri. Sejurus kemudian terbahak dan menangis. Semua sesuka hatinya. Ia seperti menemukan dunianya sendiri. Jika demikian ia merasa bahagia dan hidupnya tercukupi.
Tua menyodorkan sebungkus roti dengan sedikit jamur di tiap sisinya. Aromanya tengik. Setengik bau badannya. Roti itu sudah tinggal separuh. Ada secuil cokelat di dalamnya. Perempuan itu hanya diam. Memandang roti itu pun tidak. Ia lebih memilih sibuk memelintir ujung rambutnya yang jatuh beberapa helai.
“Maaf ya nduk..separuh tadi sudah aku makan. Tadi aku sangat lapar. Untung ada roti ini di bak sampah depan rumah pak kades. Pasti roti sisa anaknya. Sombong mereka. Roti masih enak gini kok dibuang. Trus aku ingat sama kamu nduk, pasti kamu ngemut cacing lagi. Iya toh ?!” kata Tua tanpa membutuhkan jawaban.
“Dimakan to nduk,,jamurnya mirip jamur di selangkanganmu ya..” Tua terkekeh sebelum akhirnya terbatuk-batuk.
Perempuan itu tetap membisu. Tak sedikit pun ia mengeluarkan suara. Mendesis sekali pun.
“Nduk, besok aku ndak nyambangi kamu ya..aku besok harus ke TPA..besok kan hari Kamis, jadwal truk sampah menumpahkan semua isi baknya. Sampah se kampung, pasti banyak yang kudapat. Tapi ya itu,,aku harus berebutan sama ratusan pemulung. Kalo ndak cepat ya ndak dapat apa-apa nduk.” Kata Tua, lagi-lagi tanpa jawaban.
“Nduk, borokmu kok tambah parah sih nduk..” ujar Tua sembari membelai pergelangan kaki perempuan itu dengan teramat lembut.
Perempuan itu menggeliat pelan. Sentuhan kulitnya dengan kulit Tua seperti sentuhan yang aneh. Terasa asing di pikirannya. Tapi tampaknya, kelamaan ia menikmatinya. Sentuhan dengan sedikit pijitan lembut itu dibiarkannya terjadi. Ia tak marah.
“Enak ya nduk..” Tua tersenyum lega sambil meneruskan pijitannya.
“Nduk, kalau ndak ada aku, kamu pasti ngemut cacing terus ya..”
“Apa enak to nduk ?”
“Kasihan kamu nduk...”
Perempuan itu mendesah. Matanya mulai tajam menatap Tua. Seperti ingin memakan Tua seperti ia memakan cacing-cacing itu.
Tua menyadari itu. Pasti perempuan yang dipanggilnya nduk itu sudah merasa risih dengan pijitannya. Maka ia pun melepaskan jemarinya dan beringsut mundur, menjauhinya, bersandar di dinding bambu.
Nafasnya tersengal-sengal. Batuknya meledak-ledak. Sebentar-sebentar ia meludah mengeluarkan riak-riak berwarna cokelat kehijauan. Terkadang riak itu berwarna merah segar. Tak banyak tapi cukup membuatnya tersiksa.
Tua mencoba memejamkan matanya. Meski tak lama, karena tiba-tiba ia terbangun dan segera beranjak dari duduknya. Disandangnya buntalan kain putih kecokelatan di bahu kanannya. Entah apa isinya. Yang jelas berharga untuknya.
“Aku pergi dulu ya nduk. Kamu jangan marah-marah saja. Ati-ati ya nduk..doakan aku ya nduk..” pamit Tua sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan perempuan itu sendiri. Kembali sepi. Tak ada suara. Senyap dan anyep.
Perempuan itu kembali sibuk memelintir sebagian rambutnya. ***

Penduduk kampung kali ini ketakutan. Lolongan perempuan itu tak biasa. Pagi melolong tanpa henti, semakin malam semakin menjadi. Mengalahkan suara anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan kucing bersenggama pun tak berani mengeluarkan suaranya. Kampung semakin menakutkan. Penduduk tak sanggup mendengar lolongan itu. Sebab akan memekakkan telinga siapa dan apapun. Niscaya, ia akan tuli seumur hidupnya. Maka, sepanjang hari penduduk harus memakai kapas untuk meredam pekik lolongan itu. Kapas itu disumbatkan di telinga masing-masing.
Lolongan yang biasanya menyayat hati, kini berubah menjadi teror yang menakutkan. Semua makhluk Tuhan yang berdiam di kampung itu benar-benar dilanda ketakutan yang luar biasa.
Perempuan itu terus melolong. Ia seperti sedang memanggil-manggil dan mencari-cari. Airmata yang telah berpuluh tahun tak menetes, tiba-tiba jatuh, berderai. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Bahkan ia tak punya lagi tenang. Hidupnya hanya marah dan marah. Melolong dan melolong.
Hanya Tua yang bisa membaca lolongan itu. Tapi seminggu sudah Tua tak menyambanginya. Perempuan itu merasakan kerinduan yang membabibuta. Ia berharap Tua mendengar lolongannya. Tapi tak jua. Tua tetap tak datang. Ia mengingkari janjinya. Tua bohong.
Tua itu tak akan pernah datang. Selamanya perempuan itu akan melolong dan menebar teror. Ia tak tahu bahwa Tua telah mati. Ia tak tahu bahwa Tua telah meninggalkannya dan membiarkannya makan cacing seumur hidupnya. Tua akan membiarkan pasung itu menggerogoti kakinya sampai habis. Dan mungkin, tak lama lagi ia akan menyusul Tua. Mati tak terkubur. Hingga cacing yang akan bergantian mengerubuti dan memakan dagingnya yang anyir.
Perempuan terpasung itu kembali melolong membabibuta. ***
0303011 @my office

Tidak ada komentar:

Posting Komentar