Selasa, 01 Maret 2011

BINATANG

Oleh : Fien Prasetyo

Sahabat itu harus selalu ada disaat kita membutuhkan. Saat kita sedih, bahagia, dilanda kegundahan. Bahkan sahabat itu harus turut merasakan apa yang kita rasakan.Katanya, kalau kita menangis, maka ia yang akan menyeka airmata kita, saat kita tertawa maka ia akan ikut terbahak bersama kita.
Sungguh sosok sempurna, jika memang itu adanya. Nyata.
“Ah ! Bulsitt !!!” makiku sambil melempar buku diary pink milik Mimin. Teman sekamarku.
Mimin memungut diary kesayangannya itu. Dibersihkannya perlahan dengan meniup-niup. Perlakuan yang aneh !
“apa sih yang ada di otak kamu Min ?!” tanyaku
“Maksudmu ?” Mimin balik nanya
“Bangun Min,,haloooo,,dunia ini nggak sebaik yang kamu pikir !”
“Tapi aku masih percaya sahabat Din..” jawabnya polos
Aku ngakak. Sudah menduga pasti itu jawaban yang bakal terlontar dari bibir piciknya itu.
“Oyaaaa ? aku ini sahabatmu bukan ?” godaku geli
Mimin tersenyum sembari meletakkan diary pink nya di atas rak meja belajar. Seperti sedang memberi tempat yang terpuji untuk lembaran-lembaran berisi tulisan-tulisan gak masuk akal itu.
“Iya lah Din,,kamu juga sahabat aku.”
“Hahahaaaa....” kembali aku tergelak.
“Tapi aku nggak mau lo menyeka airmatamu !”
“Buatku, kamu tetap sahabat aku Din..karena aku nggak peduli kamu balas kebaikanku atau nggak,,yang jelas aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu..”
Kali ini aku tak mampu lagi menahan airmataku. Maaf, bukannya terharu dengan kata-katanya, tapi justru tak kuasa menahan tawa sampai berurai airmata.
Mimin terdiam. Mulai nampak kesabarannya terusik oleh sikapku. Aku tahu aku kelewatan, tapi itu lebih baik, daripada aku pura-pura baik, tapi di belakang dia aku jahat. Aku ingin Mimin membuka mata, melihat dunia, bahwa dunia ini bukan sandiwara, dunia ini nyata. Setiap manusia punya kesempatan dan hak untuk berbuat jahat. Meski banyak nasehat dan petuah, tapi apalah guna. Sekali lagi, ini Dunia non !
***
Menapaki malam seperti menerobos belantara. Bedanya pepohonan disini berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit. Binatang buas, serigala, babi hutan, nyamuk hutan, disini menjelma menjadi monyet bergincu. Semakin larut maka semakin berkeliaran mereka mencari mangsa. Tak peduli kura-kura, siput, atau gajah sekalipun, semua seolah takluk dengan binatang jalang ini.
Tapi aku kagum dengan binatang-binatang itu. Kubilang binatang, bukan aku mengolok, tapi binatang itu bentuk pujianku terhadap mereka. Dalam alam berpikirku, binatang tak ubahnya hidup untuk mempertahankan dirinya. Bagaimana ia bisa mencari makan, bagaimana ia berkoalisi, bagaimana ia bisa melindungi keturunannya. Tak ada yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, apalagi kecurangan-kecurangan yang merugikan pihak lain. Ia berbuat dan ia bertanggungjawab. Tak melibatkan apalagi merugikan binatang lain. Sedangkan manusia, justru tak ubahnya binatang. Tak merasa bahwa dirinya tak lebih baik dari seekor binatang. Namun sayangnya, mereka gagal menjadi binatang dalam harfiah yang sesungguhnya. Akibatnya, mereka lebih pas dijuluki manusia setengah binatang atau manusia jadi-jadian ! ah !
Mimin menepuk bahuku. “pulang yukkk Din..ngapain sih kita disini ?” rautnya mulai gelisah
“Hah ?! ngapain ??? udaaaah nikmatin aja knapa sih Min ! kamu belum pernah tahu kan, bahwa dibalik gemerlapnya kota malam hari, ternyata masih ada dunia remang-remang kayak gini !”
“Aku takuuutt Din,,ntar kita dikira orang lagi jualan badan lagi...” Mimin makin ketakutan dan berusaha sembunyi di balik punggungku
“Takut ?! apa karena kita lagi di komplek pelacuran ? berkumpul dengan para pelacur ?” tebakku setengah geli
Mimin hanya mengangguk.
Aku tak menggubris dan malah kuhisap kretekku dalam-dalam.
“Aku pulang deh yaaa...biar aku naik taksi aja.” Mimin mengancam sambil cemberut
Aku segera menyergah, “Eit,,jangan dulu donk..emang kamu tahu jalan pulang kemana Min ? Ntar nyasar malah nyusahin aku tauk !” sergahku sambil mencengkeram tangannya kuat.
Aku mengajaknya duduk di pinggiran pot bunga trotoar.
“Kamu nyesel aku ajakin kesini ?” tanyaku masih dengan asap mengepul di hidung dan mulutku.
“Iya. Aku pikir kamu mau ngajak aku ke tempat yang baik-baik, nggak taunya malah diajakin ke tempat kayak beginian. Kalau nampak temen-temen kampus gimana ? kan dipikir mereka kita pelacur juga kayak mereka !” suara Mimin bergetar.
Aku menancapkan puntung kretekku di tanah.
“Nanti kamu akan berterima kasih padaku..” ujarku singkat.
“Kok bisa ?!”
“Aku cuma pengen kamu tahu bahwa dunia itu nggak hanya berisi kehangatan-kehangatan dan keindahan-keindahan yang selama ini kamu rasakan. Kamu hanya tahu nikmatnya tidur di kasur yang empuk, kamar kos yang ber AC, buku-buku yang menumpuk siap dibaca, karpet bulu yang lembut, atau sekadar cerita-cerita konyolmu di diary merah jambumu itu...”
“Ya hidup kan memang untuk dicari kenikmatannya Din..” elaknya
“Kamu nggak pernah tahu bahwa dunia itu buas. Bahkan kamu nggak pernah menyadari bahwa kehangatan dan kenikmatan hidup yang selama ini kamu agungkan itu hanya semu. Kamu sudah dibutakan dengan roman picisan yang hanya ada di dalam novel dan lagu. Kamu anggap dunia ini sinetron apa ? dimana yang baik hati, lemah lembut, maka akan selalu menjadi pemenang kehidupan ??”
Aku berhenti sejenak.
“Hidup itu tak lebih dari perjuangan dan pengorbanan nyata. Apapun itu, bagaimana bentuknya itu. Perjuangan itulah yang bisa kau agungkan sebagai sahabat ! Bukannya mereka yang selalu memujimu, membantumu di saat kamu susah, atau mereka yang sanggup meyeka airmatamu. Apalagi mereka yang berjanji akan selalu ada untukmu disaat susah maupun senang...”
“Kamu nggak pernah sadar, bahwa justru merekalah yang akan menghancurkan hidupmu. Merekalah yang akan selalu membuaimu dengan mimpi-mimpi. Sementara hidup itu bukan mimpi non ! Hidup itu realita ! Kamu nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Semua orang akan mati. Dan kalau sahabatmu itu mati, apa mereka masih sanggup berjanji untuk selalu ada untukmu ?!”
“Disaat kamu punya kesulitan, uang pasti..mereka dengan senang hati meminjamkannya untukmu. Mereka sudah mengajarkanmu menjadi manusia pemalas yang tak mampu berjuang untuk mendapatkan apa yang kamu butuhkan dengan keringatmu sendiri...”
Mimin tertegun. Aku tak pernah berharap Mimin mengikutiku. Biar dia membuka cakrawala hati dan pikirannya sendiri tanpa bantuanku. Bagaimana caranya. Dia yang tahu.
“Jadi, sahabat itu nggak pernah ada ya Din ?” tanyanya pelan
“Tergantung kamu anggap apa arti sahabat itu.” Jawabku pasti.
Tiba-tiba seorang pria perlente menghampiri kami. Baunya mesum. Menusuk hidung. Sangat tidak sedap. Mimin bersembunyi di balik badanku. Begitu ketakutan, seolah ia melihat hantu di hadapannya.
“Hai..” sapanya ramah.
Aku membalas dengan tersenyum.
“Boleh aku duduk di sini ?”
Aku memberinya space sedikit dengan bergeser.
Mimin semakin ketakutan.
“Kenapa mas ?” tanyaku to the point.
“Jujur aku sedang melakukan penelitian tentang PSK nih,,bantuin ya..” harapnya.
Aku tersenyum, “Kalau untuk informen apalagi narasumber, mas salah alamat.” Jelasku
“Jadi kalian ?”
“Bukan,,kami juga sedang melakukan pendalaman sesuatu tentang kehidupan disini..”
“Ooohh,,sori yaaa..kalau gitu kita sama ya..”
Aku tersenyum saja.
Mimin mulai menampakkan wajahnya. Ketakutan itu berangsur hilang.
Sesaat kemudian, kami sudah terlibat pembicaraan yang sangat mengasyikkan. Kulihat Mimin juga sangat menikmati obrolan kami. Hingga tanpa terasa, malam semakin pekat. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Dan kami memutuskan untuk mengakhirinya dengan hati bahagia. Taksi membawa kami pulang.
***
“Bangun Diiiiinnn !!!” teriak Mimin
Sontak aku melayang dari kasurku. Ingin kutinju mukanya.
“Knapa ? mau ninju mukaku ?!” tebaknya sambil menahan tawa
Kubenamkan lagi mukaku dibalik bantal. “takut ah,,ntar gak dianggap sahabat lagi sama kamu.” Selorohku sambil cekikikan.
“Ntar malam ajak aku lagi kesana ya Din..baru deh kamu sahabatku forever.” Pinta Mimin
Aku tersentak, “HAAHHH ?!”
“Kamu mau ngapain kesana ?jangan-jangan kamu jatuh cinta yaaaa sama Edo, cowok yang tadi malam ituuuuu,,hayyoooooo..”
Pipi Mimin memerah. “Nggak aahhh,,”
“Jadi, mau ngapain dunk kesana ? ntar nggak takut ketahuan temen-temen kampus dibilang pelacur ?”
Mimin mencubit pinggangku, “Udah deeeh jangan ledekin aku terusss..”
“Aku sudah punya sahabat sekarang Din..”
“Rani ? Widya ? Dessy ? atauuu Luna ?”
“Mereka..mereka yang kamu bilang binatang itu Din..”
Aku tergelak, “Kok bisa ?”
“Hmm..kamu bener Din, aku merasa petualangan kita semalam adalah awal perjuanganku dalam hidup.”
“Halah, alay !”
“Kok malah dibilang alay sih !” Mimin cemberut.
“Ya eyalaaahhh..mana mungkin sih pola pikir kamu yang sudah 20 tahun merongrong bisa berubah hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya kayak gini..”
Mimin manyun. Ia nampak bingung.
Aku mengacak-acak rambutnya, “udah gak usah bingung kayak monyet gitu, apapun yang ada di otak kamu sekarang, aku nggak peduli. Otak-otak kamu,,terserah mau kamu apain. Yang jelas aku hepi kamu ngajak aku kesana lagi..hehee.”
“Kok gitu ?”
“Iya, biar kamu bisa mikir sendiri. Nggak menganggap aku sahabatmu lagi. Karena aku lebih suka jadi binatang piaraanmu ketimbang jadi sahabatmu. Karena aku nggak sanggup berjanji muluk-muluk sama kamu. Apalagi menyeka airmatamu...iiihhhh...najis !”
Mimin menggaruk-garuk jidatnya yang nggak gatal. BINGUNG !!!
Aku terbahak-bahak dari balik pintu kamar mandi.
***
02032011 @my office

Tidak ada komentar:

Posting Komentar